Kamis, 2008 Oktober 23
Terpasung Dalam
Terungku Kaum Penjarah
Siang itu aku bergegas menuju supermarket, membeli apa saja untuk keperluanku ke luar negeri. Hari ini aku merasa menjadi orang kaya raya. Perjalanan keluar negeri seperti berjalan menuju ke rumah tetangga. Lima negara aku lalui, mulai Malaysia, Singapura, Thailand, dan China. Tapi putri bungsuku sering protes, kenapa ayah berlagak seperti orang kaya? Kebanggaan ayah di negeri orang membuat aku menangis di negeri sendiri. Meskipun ayah mengunjungi berbagai negara, tapi tetangga kita tidak akan percaya kalau ayah menjadi demikian hebat. Ayah tak jauh beda seperti mereka. Begitu kata putriku suatu hari ketika kuajak jalan-jalan ke mal terbesar dikotaku.
‘’Nak hidup ini jangan terlalu diratapi. Tapi harus dijalani. Tidak ada salahnya kita berlagak seperti orang kaya. Menenteng kopor besar, meski isinya mie instant dan kopi bubuk Pagar Alam kegermaranku. Sekali-kali kita butuh untuk dihormati. Begitu kita menyodorkan paspor, petugas tersenyum kearahku. Turun dari pesawat, langsung disambut tuan negara dengan rangkaian bunga. Nah siapa yang tidak butuh kehormatan seperti itu?’’
‘’Ayah tidak malu menjadi orang Indonesia? Penampilan ayah bukan yang sebenarnya. Apa yang harus ayah jawab ketika orang bule…’’
‘’Huss, bukan bule,’’ aku memotong kata-kata putriku. ‘’Di Malaysia, Singapura, Tailand dan China, orangnya sama seperti kita. Bukan bule, tapi emm, ya sama seperti kita.’’
‘’Maksudnya begini lho, ayah. Kalau seandainya ayah ditanya orang sana, apa jawab ayah?’’
‘’Putriku, kalau ngomong itu pakai bahasa yang simple dan cerdas. Tergantung siapa yang nanya, dan tentang apa. Kenapa takut? Di sana tidak ada KPK yang bakal menanyai ayah dari mana dana perjalanan ayah ini sampai ke beberapa negara. Mengunjungi Forbidden City, Great Wall, Beijing, Shanghai dan Hongkong. Dana perjalanan ayah bukan uang rakyat, tapi uang perusahaan di kantor ayah. Ayah harus sedikit sombong, dong. Jelek-jelek begini menolak mendapat jatah perjalanan dari uang rakyat. Perusahaan tempat ayah bekerja memang luar biasa. Maju pesat. Siapa lagi kalau bukan karyawannya yang membesarkan itu, termasuk perjuangan ayah. Wajar kan kalau ayah mendapat hadiah jalan-jalan ke luar negeri? Hitung-hitung inilah hasil keringat sendiri selama bertahun-tahun, meski hanya berpangkat rendahan,’’ kataku.
‘’Ayah, aku sering terima email dari teman-teman dari luar negeri,’’
‘’Wah, hebat, nak. Punya teman luar negeri juga?’’
‘’Ayah jangan motong-motong begitu dong kalau ngomong. Temanku bilang, korupsi di Indonesia merajalela. Apa ayah gak malu di sana. Indonesia itu terkorup nomor tiga di dunia…’’
‘’Ah, jangan terlalu merendahkan negeri kita sendiri, nak. Itu terlalu naïf. Sebaiknya kamu juga ikut mempopulerkan Indonesia dari sisi yang lain, mungkin seni budayanya, tanahnya yang subur, dan lain-lain. Kamu belum cukup umur membicarakan soal negara, terlebih lagi bicara masalah korupsi. Tahu apa, kamu kan masih kelas lima SD….’’
‘’Ya, tahunya dari luar, ayah. Kalau di Indonesia kan sudah terbiasa. Nggak terasa karena kita masuk didalamnya. Selama ini kita hanya tahu biaya sekolah di sini makin lama makin mahal. Naiknya dikit-dikit, SPP naik dikit, iuran ini itu naik dikit, buku paket naik dikit, sumbangan untuk semester genap naik dikit, biaya semester ganjil naik dikit, pendaftaran ulang naik dikit dan lain-lain. Tapi setelah dikumpulkan, besar juga ya, ayah. Makanya ayah sering pusing kalau aku minta bayaran sekolah. Semoga saja pemimpin kita ini memang benar-benar bisa mewujudkan sekolah gratis. Sekolah gratis itu bener apa ….’’
‘’Husss jangan diteruskan. Jangan menyindir. Biasanya para pejabat kita ini sering alergi disindir-sindir. Maunya disanjung-sanjung. Masalah malu atau tidak di luar negeri, ya juga tergantung siapa kita. Kalau ayah gak malu, entah kalau eksekutif dan legislative kita yang hobi keluyuran ke luar negeri dengan ongkos duit rakyat. Tahu kan rakyat kita kian lama-kian terjepit kemiskinan….’’
‘’Ongkos dari uang rakyat itu kan nantinya kembali ke rakyat, ayah. Mereka kan studi banding. Siapa tahu ada ide cemerlang membangun daerah setelah melihat-lihat negara orang lain itu bagus. Manfaatnya kan untuk rakyat kita juga. Studi banding itu kan memang untuk jalan-jalan dan melihat-lihat yang selama ini tidak ada di Indonesia…’’
‘’Ya, ya. Jalan-jalan itu memang sangat menyenangkan, terutama bila kita menyaksikan pergelaran seni budaya di sana dan tata kotanya sangat menyenangkan. Tapi biasanya kesenangan itu justru membuat kita jadi lupa. Lupa untuk menerapkannya di daerah kita sendiri. Penyakit lupa, nak. Lupa kalau kita telah membawa amanat rakyat….’’
‘’Ayah ini juga nyindir.’’
‘’Bukan nyindir, nak. Tapi memperjelas. Soalnya kita membicarakan masalah budaya dan tindak tanduk dalam kehidupan. Posisi rakyat sering dijadikan obyek pijakan menuju kursi kekuasaan. Rakyat sekarang ini terkadang apatis, dan tidak sedikit yang suka diiming-iming agar bisa mimpi menjadi orang kaya. Ayah katakan kamu harus bangga menjadi orang Indonesia, nak. Kamu juga harus bisa bilang begitu sama teman-temanmu yang dari luar negeri itu. Ayah tidak malu jadi orang Indonesia. Biar orang bilang apa saja, biar, biar …Indonesia negara paling korup di dunia, biar. Indonesia negara gagal, biar. Indonesia negara lemah, biar. Indonesia melanggar HAM, biar. Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan, ya biar. Presiden-presiden Indonesia dilecehkan para humoris, emm aku kira biasa-biasa, nak. Gak, gak malu. Kita harus bangga.’’
‘’Aku mau tahu dari ayah, yang dilecehkan kaum humoris itu seperti apa, ayah?’’
‘’Dengarlah, nak. Bung Karno dimanfaatkan komunis, Pak Harto dimanfaatkan putra-putrinya, Habibie dimanfaatkan konco-konconya, Gus Dur dimanfaatkan tukang bisiknya. Catatlah, Bung Karno menciptakan keamanan dan persatuan bangsa, Pak Harto menciptakan kemakmuran bangsa dan kemakmuran keluarganya, Habibie menciptakan demonstrasi. Alamak, Bung Karno turun dari presiden karena Supersemar, Pak Harto turun dari presiden karena superdemo, Habibie turun dari presiden karena supertransisi, Megawati turun-temurun jadi presiden.’’
‘’Ah, ayah bisa aja mengait-ngaitkan kaum humoris.’’
‘’Sudah ayah katakan, hidup ini jangan terlalu dibikin pusing nak. Kaum humoris itu tidak bermaksud melecehkan. Mereka ingin menghibur kita semua agar suasana menjadi ceria. Kita sedih terus juga tidak akan merubah keadaan, kecuali takdir berkata lain. Maka kamu tahu sekarang kenapa ayah tidak malu jadi orang Indonesia? Indonesia punya istilah-istilah khas di dunia korupsi. Ada istilah angpao untuk uang atensi, ada amplop untuk bikin kocek tebal berisi, ada saweran duit untuk membayar pengacara hitam dan menyuap aparat hukum, ada prosedur untuk menilep uang rakyat dan institusi dilakukan beramai-ramai.’’ ‘’Wah, kalau begitu kita ini dikelilingi kaum koruptor ya, ayah? Dalam pelajaran sejarah korupsi, sebenarnya sejak kapan korupsi itu muncul.’’
‘’Sejak kamu lahir orang sudah senang korupsi. Simaklah sejarah bangsa dan Tanah Air. Semenjak dulu zaman kompeni, pegawai VOC kirim laporan kepada Heren Zeventien di tanah Wolanda Elke Regent Heeft zijn Chinees. Susuhunan Amangkurat II dari Mataram mengutus misi sembilan duta ke Batavia minta kepada Bapak Kompeni agar dikirimi cinderamata mulai dari ayam Belanda, kuda Persia hingga gadis Makassar.
Korupsi adalah sejenis vampire. Makhluk halus bangkit kembali dari kubur. Kemudian keluar pada malam hari dan mengisap darah manusia yang sedang tidur. Di layar film Hollywood wujudnya adalah Count Dracula yang bertaring diperankan aktor Bela Lugosi. Vampir yang hilang kesaktiannya bila terkena sinar matahari, akan tetapi drakula-drakula Indonesia tetap perkasa beroperasi 24 jam, ya malam ya siang mencari korban. Drakula telah merasuki rongga dan jiwa aparat negara. Wajarlah KPK tertatih-tatih memburu mereka. Hari ini diberantas, besok muncul lagi. Begitu seterusnya. Para koruptor ini memang sedang berjamaah dan menjarah ke berbagai aspek kehidupan. Kita benar-benar terpasung di dalamnya. Mau apa lagi. Inilah takdir kita menjadi orang Indonesia. Mungkin suatu saat nanti ketika kita berada di luar negari, akan saya ceritakan, Indonesia itu kaya raya.’’
‘’Ayah ini memang sok pede. Cara bicara ayah terdengar agak sombong. Malu dong ayah.’’
‘’Ya, ayah malu. Tapi dalam hal-hal tertentu, kita tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Tapi tahukah kamu nak, penyakit sombong selalu menyerang bangsa kita. Biar miskin asal sombong. Kita lupa kalau kita terkurung oleh keadaan yang sebenarnya cukup runyam?’’.
Putriku tersenyum. Aku ikut tersenyum. Hidup ini memang harus begitu, meski senyumku tidak bisa diterjemahkan apakah senyum gembira atau sedih. Super mal yang megah itu, sepertinya terus melambai-lambai. Putriku sangat menyukai jalan-jalan di sana. Hampir setiap hari tidak bosan-bosannya mengajak aku kesana. Putriku diam-diam juga pintar membaca keadaan, bahwa bangsa kita ini lebih suka dininabobokkan sesuatu yang megah. ‘’Ternyata kita termasuk orang yang konsumtif, ya ayah?’’ kata putriku.
‘’Ya, dari situlah korupsi lama-lama bisa tumbuh,’’ kataku.
. ****
Palembang, 21 Juli 2008
(Terinspirasi dari Sajak ‘Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia’ karya wartawan senior H Rosihan Anwar, Dibacakan pada acara Deklamasi Puisi di Gedung Da’wah
Muhammadiyah di Jakarta, 31 Desember 2004. Juga dibacakan dalam acara pertemuan keluarga
wartawan senior di rumah penulis pada tanggal 9 Januari 2005, di Jakarta)