Sabtu, 23 Februari 2008

Harta Milik Tuhan

Harta Milik Tuhan
Cerpen T Junaidi



Menjadi orang miskin itu memang selalu tidak enak. Dunia seperti tak pernah berpihak kepadanya. Mulai soal ekonomi, keadilan, kehormatan, maupun soal masa depan. Tugio, salah seorang warga transmigrans Airsugihan Jalur 23 Blok D Sumatera Selatan, setiap hari selalu meratapi nasibnya yang tak kunjung berubah. Hamparan persawahannya tak menghasilkan apa-apa, lantaran muspro ditelan air asam dan serangan hama tikus. Sedangkan Inok, putrinya yang baru berusia 6 bulan sakit panas dan mencret-mencret.
‘’Apa yang bisa kita lakukan untuk menghasilkan uang Pak. Badan anak kita panas gak turun-turun, semalam mencret-mencret,’’ ujar Ginah, istri Tugio.
Mendengar istrinya minta uang untuk berobat anaknya, Kepala Tugio mendadak pusing dan dunia seperti gelap gulita. Tak ada yang bisa dilakukan dalam waktu sekejab untuk menghasilkan uang. Airsugihan bukanlah daerah perputaran ekonomi, bukan daerah perdagangan, melainkan daerah pertanian yang hanya menunggu hasil tani selama 4 bulan ke depan, itupun bila berhasil panen, bila tidak panen, berarti 8 bulan kedepan menunggu godot--menunggu ketidakpastian. Semua orang tahu Airsugihan merupakan daerah ‘terisolir’ dari dunia luar. Sedangkan jalan riding yang menghubungkan Airsugihan dan Pampangan OKI, proyeknya selalu bermasalah. Dan kini jalan yang dijanjikan Bupati tuntas 2008 itu, belum ada kabar kejelasannya.
‘’Aku mau mancing, Mak. Siapa tahu Allah memberi rejeki. Ikannya nanti kita jual. Bila tidak laku, ya biaya berobat kita bayar pakai ikan itu,’’ ujar Tugio.
‘’Iyalah Pak, cepat sana mancing, soalnya aku kawatir nanti ada apa-apa dengan anak kita. Panasnya gak turun-turun,’’ Ginah terlihat cemas.
Tugio cepat ambil stik dan cangkul mencari cacing di pematang sawahnya, lantas menuju sungai mencari tempat yang memungkinkan banyak ikan, Pada musim penghujan bulan lalu, ikan di sungai besar dan paret persawahan cukup banyak, namun akhir-akhir ini sudah sangat jarang lantaran banyak disetrum dan diputas orang. Di sungai besar tinggal jenis ikan lele dan baung yang berukuran kecil. Hampir dua jam Tugio berpindah-pindah mencari tempat yang banyak ikannya. Tapi hasilnya belum memuaskan lantaran baru dapat 7 ekor ikan gabus sebesar pergelangan anak usia SD dan 4 ikan sepat sebesar tiga ibu jari. Tugio sudah merasa senang, berarti harapan untuk mengobati anaknya yang sakit parah bakal kesampaian.
Sembari memasang pancingnya di pinggir sungai, Tugio menimbang-nimbang ikannya yang berada di kantong plastik asoy, diperkirakan baru setengah kilogram. Masih kurang banyak, karena satu kilogramnya hanya bisa dihargai Rp 5 ribu. Sedangkan biaya berobat umumnya Rp 20 ribu. Ini berarti Tugio harus memperoleh tambahan ikan sebanyak 3,5 kilogram.
Tak terasa, hampir setengah hari Tugio menyusuri pinggiran sungai. Hasil tangkapannya masih sangat tanggung. Tapi Tugio tak mau menyerah, sejurus langkahnya menuju tempat pemancingan yang lain, tiba-tiba seorang pria setengah baya menghentikan langkah Tugio.
‘’Hei, dilarang mincing di sungai,’’ teriak lelaki pendatang yang belum pernah dikenalnya. Tugio berpikir sejenak, siapa sebenarnya lelaki itu? Polisikah, sebab dari perangainya yang kasar, membuat Tugio membolak-balikkan pikirannya, mungkin preman, mungkin orang usil, mungkin polisi, atau siapalah dia. Tapi apa hak dia melarang saya memancing ikan di sungai milik Tuhan? Hmmm, mungkin saja dia petugas yang merasa geram bahwa selama ini sungai sering diputas dan disetrum.
Lama Tugio bengong. Baru kali ini ada orang melarang memancing di sungai. Memangnya sungai ini milik siapa? Tuhan saja tidak melarang manusia memancing di sungai, kok ada orang tiba-tiba melarang? Tugio merasa di desanya selama ini aman, penuh kebersamaan dan gotong royong. Jauh dari hal-hal yang bersifat anarki dan tindak kriminal lainnya. ‘’Aneh, nggak waras,’’ umpat Tugio dalam hati. Tugio pun tak menggubris omongan lelaki tersebut.
‘’Kenapa kamu masih saja mancing?’’ lelaki tersebut memperlihatkan kemarahannya sembari merampas ikan hasil tangkapan Tugio. Melihat kenyataan itu Tugio tak mampu berbuat banyak. Sembari memandangi kantong plastik asoy warna hitam yang dirampas lelaki pendatang itu, tak terasa titik air mata pun meleh di pipi Tugio.
Untung Tugio masih diberi kesabaran untuk meratapi isi kantong plastik itu. Bagi Tugio, itu bagian dari nyawa anaknya yang kini sedang sakit parah. Kalau tidak, bisa saja Tugio berbuat nekad dengan membacok lelaki sombong itu dengan parang yang dipegangnya. Tugio menghela nafas panjang, mencoba meredakan emosinya, lalu duduk termenung di pinggir sungai. Waktu menuju maghrib tinggal beberapa menit saja, tidak mungkin lagi bagi Tugio melanjutkan memancing ikan di sungai.
Akhirnya Tugio pulang dengan tangan kosong. Hatinya terasa gundah gulana, seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit dan pedih. Kejadian yang sangat menyakitkan sepanjang hidup Tugio, disaat anaknya sakit dan tidak memiliki uang serupiahpun. Giliran ada sedikit ikan yang akan dijual, ternyata dirampas orang. Jumlahnya memang tidak seberapa dibanding sakitnya anak yang segera minta ditolong.
‘’Terus bagaimana Pak,’’ ucap istri Tugio.
‘’Ya sudah kita bawa saja anak kita ke puskesmas atau bidan desa. Mumpung belum benar-benar terlambat. Kan sakitnya baru dua hari ini. Biarlah nanti aku ngomong terus terang dengan Ibu Bidan,’’ kata Tugio.
Tugio dan istrinya bergegas menaiki sepeda kayuh. Sesampainya di tempat praktek bidan desa, Tugio langsung membawa anaknya masuk ke ruang pengobatan. ‘’Tolong, Bu. Anak saya sudah dua hari panas tinggi,’’ kata Tugio.
‘’Kenapa tidak segera kamu bawa kemari?’’ tanya bidan sembari memeriksa perut anak Tugio dan meraba-raba punggungnya-- masih terasa panas. ‘’ Selain panas, juga mencret-mencret, Bu’’ sela istri Tugio.
‘’Saya hanya akan kasih racikan penurun panas. Sebabnya anak ini tidak mungkin disuntik, selain masih bayi, juga kondisi badanya masih panas. Kasih minum banyak-banyak dan dikompres setelah pulang dari sini,’’ pinta ibu bidan.
‘’Ya, Bu,’’ jawab Tugio.
Setelah bidan desa menyodorkan racikan penurun panas, mulut Tugio terasa berat berterus terang bahwa dirinya tidak punya uang untuk membayar pengobatan ini.
‘’Maaf Bu, saya nggak punya uang untuk ongkos pengobatan. Tadi siang bapaknya mancing, maksudnya mau dijual buat pengobatan, tapi ikannya diminta orang, katanya dilarang memancing. Jadi ya minta maaf Bu, saya nggak punya uang,’’ ujar istri Tugio.
Ibu Bidan lama memandangi istri Tugio dan anaknya yang bibirnya terlihat pucat. Tidak seperti biasanya, setiap menangani pasien separah apapun, Ibu Bidan bersikap biasa-biasa. Tapi kali ini, ibu bidan seperti terkejut dan sempat termenung. Bahkan Tugio melihat kedua mata Ibu Bidan terlihat lembab. ‘’Apa karena dia kasihan dengan anak saya, ya?’’ batin Tugio.
‘’Ini sekedar buat kebutuhan Ibu di rumah. Anaknya jangan lupa dikompres, ya,’’ Ibu Bidan menyodorkan amplob berisi uang seratus ribu rupiah. Tugio merasa kebingungan menerima pemberian ibu bidan. ‘’Bukankah seharusnya kami yang membayar biaya pengobatan? Pikir Tugio.
‘’Terima kasih Bu, smoga Allah memberi rezeki banyak pada Ibu,’’ sahut istri Tugio singkat.
Ibu Bidan langsung masuk dapur mencari putrinya. ‘’Ninda, ikannya sudah digoreng apa belum? Kalau belum, kasihkan orang, atau buang saja,’’ kata ibu Bidan.
‘’Lho ada apa Bu,’’ Tanya Ninda keheranan.
‘’Pokoknya jangan dimasak. Buang saja, atau kasihkan orang sana,’’ pinta ibu Bidan. Ternyata ibu Bidan tahu bahwa sore tadi menantunya bernama Dedy, memang membawa ikan gabus dalam kantong plastik warna hitam berjumlah 7 ekor dan 4 ekor ikan sepat. Mungkin ikan yang dimaksud Tugio dirampas orang dengan modus melarang memancing, ya ikan yang siap dimasak putrinya itu. Hati Ibu Bidan pun terasa miris meskipun belum sempat makan ikan tersebut.

Palembang, 22 Februari 2008


(diangkat dari kisah sejati)

Tidak ada komentar: