Rabu, 29 Oktober 2008

Cerpen T Junaidi: Perempuan Muda di Sudut Cafe Ya Shao

Perempuan Muda

di Sudut Café Ya Shao

Cerpen T Junaidi












Perjumpaanku dengannya terjadi begitu saja. Seperti Tuhan menemukan sesuatu tanpa kita bisa menyadarinya, tapi bisa merasakan, kemudian kita katakana inilah takdir. Perempuan ayu, agak melankolis memang. Dia duduk sendiri di kursi depan sebuah café bergaya eropa—di sudut pusat perbelanjaan Ya Shao kota Beijing.

Sayup-sayup alunan musik jazz begitu mendominasi sebuah suasana café yang dipenuhi orang-orang bule itu. Aku sendiri merasa agak asing memasuki tempat tersebut. Tapi aku juga tak bisa memilih tempat nongkrong lainnya sekedar minum coffee, atau susu soda. Aku pikir, masuk dulu, masalah minumannya berselera dilidah indonesiaku atau tidak. Yang penting hasil akhirnya adalah minum kopi. Aku mau praktis. Aku pilih minuman kopi kaleng saja biar lebih simple dan tidak perlu bertele-tele, tinggal sodorkan beberapa Yuan, aku lalu dapatkan minuman kecil itu.

Perempuan muda yang duduk di kursi paling depan beberapa kali sempat aku lirik. Diapun seperti mengerti keinginanku. Aku tidak langsung menelan habis-habis kesempatan itu. Aku menyadari aku orang asing di negeri orang. Siapapun yang aku kenal, mungkin bisa menolongku, atau sebaliknya, mencelakaiku.

Aku menyapu pandang seisi ruangan, semuanya duduk berpasangan. Sebagian membuka laptop, ada juga yang hanya baca-baca buku. Tapi kulihat dia sibuk menulis dengan ejaan yang sulit aku mengerti. Pakai huruf Mandarin. Aku pikir, ini pasti perempuan China. Hamm, naluri kelaki-lakianku mulai liar.

Nongkrong di café, ngopi sambil dengeri musik atau buka laptop, posting berita blog, chatting, sepertinya memang merupakan fenomena yang sedang ngetrend dijagad modern seperti sekarang ini. Sangat jamak kita temui. Di Café-café yang bertebaran di Mall maupun di outlet Café itu sendiri, sering menyediakan tempat yang nyaman buat nongkrong dan berlama-lama. Di Indonesia juga sudah mulai bertebaran gaya hidup seperti itu.

Disudut café Ya Shao, aku masih menikmati keasinganku. Pergeseran nilai dan budaya memang berubah 90 derajat. Aku mencoba menyesuaikan situasi dan kondisi. Apalagi saat itu cuaca di Tiongkok benar-benar memasuki musim panas. Wajar di sana-sini banyak perempuan mengenakan busana seenaknya, sangat minimalis. Banyak pusar dan narkoba (nampak kolor bawah) terlihat di mana-mana.

Satu kaleng kopi dingin sudah aku buka. Aku teguk pelan-pelan, merasakan dingin mengalir ke tenggorokan begitu nikmat. Ya Shao, tempat yang nyaman, menu minuman dan makanan yang lezat, ditambah free hotspot. Perempuan muda berambut panjang sebahu, masih belum beranjak dari tempatnya. Masih sibuk dengan angka-angka dan kata-kata. Beberapa kali membuka kamus bahasa Mandarin. Aku yakin, dia pasti merasakan kalau aku lama memperhatikan.

‘’Excusme..?’’ aku berkata pelan agar tidak terdengar mengejutkan. Tapi kalau saja dia terganggu, aku tidak salah, sebab ini tempat umum. Kalau mau serius mengerjakan pekerjaan rumah (PR) sekolah, ya di rumah. Atau kalau sibuk menyelesaikan urusan kantor, ya sebaiknya dikerjakan di kantor. Itulah budaya semestinya. Bukan tugas kantor dikerjakan di café.

‘’Silahkan duduk Mas,’’ akhirnya perempuan muda itu mempersilahkan aku duduk setelah beberapa menit aku cuma berdiri saja. Tapi aku malah bengong sebelum benar-benar duduk di depannya.

‘’Kamu orang Indonesia?’’ kataku seperti orang bodoh.

‘’Ya, ada apa?’’

‘’Oh, nggak. Nggak ada apa-apa. Dengan siapa di sini?’’

‘’Sendiri’’

‘’Oya?’’

‘’Lihat saja. Saya dengan siapa?’’

Perempuan muda itu seolah memperjelas keberadaannya. Sebuah pertanyaan bodoh yang pernah aku lontarkan. Budaya basa-basi masih tetap lengket dibibirku. Maklum, aku orang Indonesia tulen, yang dibesarkan dilingkungan orang-orang yang penuh basa-basi. Tak hanya itu, dilingkunganku Tuhan pun bisa dikangkangi dan dicurigai. Betapa tidak, sering aku baca dikoran banyak oknum pejabat kita berani bersumpah dibawah kitab suci Tuhan, tapi korupsi merajalela. Ini sama saja telah mengangkangi Tuhan.

‘’Kok kamu kelihatannya tersenyum. Senyum dengan siapa?’’

‘’Maaf, nama Mas siapa?’’ tanya perempuan itu sebelum menjawab pertanyaanku. Nadanya datar dan gayanya cuek seperti tak terjadi apa-apa. Sedangkan aku merasakan panas dingin bisa ngobrol nyambung dengan orang yang baru aku kenal.

‘’Namaku singkat saja, Ireng.’’ kataku.

‘’Namamu bagus. Aku teringat arranger kita, Ireng Maulana. Dalam rangka apa Mas ke Beijing?’’

‘’Kebetulan saja ada tugas kantor.’’

‘’Enak ya, bisa jalan-jalan.’’

‘’Kamu juga enak bisa tinggal di sini. Dalam rangka apa?’’

‘’Sekolah.’’

‘’Sekolah disini? Apa di Indonesia tidak ada yang lebih berkualitas?’’

‘’Masalahnya bukan berkualitas atau tidak, tergantung senang atau tidak kita.’’

‘’Maksudnya kamu tidak senang menempuh pendidikan di Indonesia? Mengapa tidak suka? Wah, nasionalismemu perlu dicurigai kalau begitu.’’

‘’Eit, jangan terburu curiga. Yang kita bicarakan masalah pendidikan, aku tidak ngajak bicara diluar topik.’’

‘’Em, kamu belum mengenalkan namamu, kan?’’ kataku.

‘’Julia.’’

‘’Cuma itu?’’

‘’Julia Nitibaskara. Aku kelahiran Jakarta. Ibuku asli Bandung, Papaku asli Betawi. Wajahku aja yang mirip China, hahaha….’’ Julia ngakak sembari meletakkan penanya, lalu meraih block note di saku bajuku. Menuliskan alamat email, hp dan blognya. ‘’kapan-kapan kunjungi situsku. Kita bisa bercengkerama di dunia maya lebih panjang lebar,’’ kata Julia seolah menantang ‘gombal-gombalan’ via internet.

Ditantang seperti itu aku justru tambah bingung. Sebab usiaku dengannya sangat tidak sebanding. Kira-kira berkisar 15 tahun lebih tua dariku. Tapi cara bicaranya benar-benar sangat dewasa dan mampu menguasai dirinya. Aku taksir usianya baru 22 tahun. Diam-diam aku mengaguminya, sama dengan kekagumanku pada putriku yang kini masih duduk di kelas III SMP. Barangkali putriku kalau di luar sana, juga seperti dia. Hmm, pergeseran nilai ternyata begitu meloncat jauh dari era saya remaja dulu. Kini usiaku tiga tahun lagi mencapai kepala 4. Sudah tidak pantas menjadi ‘anak nakal’.

‘’Kamu sangat berani,’’ kataku dengan nada memuji.

Perempuan muda itu ganti tercengang.

‘’Kenapa?’’

‘’Kamu sendirian di negari orang. Sementara keluargamu di Jakarta.’’

‘’Aku tidak sendirian. Di sini ada yang menemani. Ya, Mas Ireng. Di tempatku kuliah juga banyak teman-teman dari berbagai negara.’’

‘’Apa yang kamu rasakan selama tinggal di sini?’’

‘’Bebas’’

‘’Bebas?’’

‘’Ya. Di sini kita bisa menemukan kebebasan. Hak kita terjaga. Masing-masing orang menghargai hak orang lain.’’

‘’Apa di Indonesia kurang bebas? Hak azazi manusia sering dilanggar?’’

‘’Mas kan orang Indonesia seperti aku. Rasanya gak usah dijelaskan.’’

‘’Kamu pintar sekali. Aku suka orang pintar. Bisa melihat orang lain dengan pikiran dan hati. Kamu bahkan tidak takut denganku yang mungkin tidak pas untuk diajak ngobrol.’’

‘’Bisa aja Mas merendah. Usia bukan sebuah batasan kita mengenal seseorang.’’ Julia berkata agak genit. Seolah ingin tahu sejauh mana sikap liarku terhadap dirinya. Aku mencoba bersikap biasa-biasa, bahkan aku memposisikan sebagai orang tua, meski sebenarnya belum benar-benar tua.

‘’Maaf, aku gak bisa lama-lama. Jam tiga ini aku harus sudah sampai di kampus. Identitasku sudah Mas catat kan? Kalau saja besok kita tidak ketemu lagi di café ini, setidaknya bisa kontak via HP atau emailku.’’

Perempuan cakep itu langsung bergegas pergi. Pertemuanku begitu singkat. Tapi terasa sangat akrab. Terus terang aku agak kecewa berat karena belum ngobrol panjang lebar.

***

Semalaman aku tidak bisa tidur pulas. Selalu memikirkan gadis melankolis yang aku kenal di café Ya Shao itu. Benar-benar gila. Begitu cepatnya perkenalan kita sampai pada akhirnya janjian ketemu lagi di tempat yang sama.

Di café itu, aku menemukan tempat yang pas. Biasanya aku lebih suka di Starbug di kawasan Shanghai, biasa mengakses internet gratisan. Di era yang serba digital saat ini, semua seakan borderless, jarak dan waktu bukan lagi sebuah masalah rumit untuk melakukan aktivitas dan berkomunikasi. Dunia modern menjadikan perilaku orang juga bergeser kearah yang dulu kita anggap tidak mungkin. Bicara maupun meeting cukup lewat telepon genggam. Meeting dengan klien luar negeri bisa pakai email, blog, atau chatting. Belanja pun bisa lewat online dan delivery.

Kini mengerjakan tugas kuliah atau kantor bisa dimana saja asal ada sambungan Internet. Banyak kantor saat ini yang ngirit alias menekan cost sewa ruangan atau gedung, air, listrik dan tagihan-tagihan yang lain. Semua tugas bisa dikerjakan dari mana saja, asal tersambung Internet. Bahkan mencari teman kencan, jodoh dan kuliah bisa lewat Internet.

Hal inilah yang membuat orang akhirnya mencari tempat senyaman dan seenak mungkin untuk mengerjakan tugas-tugas apapun, baik tugas kantor, kuliah sekolah bahkan profesi seperti wartawan dan penulis. Sudah internet gratisan, tempat enak ber-AC, diiringi musik,makanan tinggal pesan. Saat ini dunia terasa kecil, jarak makin tak berarti, entah seratus tahun ke depan, dunia pasti akan lebih canggih dari sekarang. Apa yang kita pikirkan akan datang di depan kita. Mungkin. Tapi rasanya tidak harus seratus tahun, saat ini saja kita sudah bicara dengan orang yang tinggal di negara lain di depan mata, via fasilitas chatting. Wajar bila orang-orang modern bila berkenalan selalu meninggalkan alamat email, blogger, maupun alamat lain dalam internet. Hmm, dunia modern telah menguasai kita.

***

Di sudut café itu, Julia terlihat sibuk seperti kemarin. Rasanya aku makin tambah bodoh memikirkan perilaku orang-orang modern ini. Pekerjaan kuliah bisa konsen dikerjakan ditempat ramai seperti ini, berisik musik jazz dan hiruk-pikuk orang bercengkerama.

Aku langsung duduk di depannya. Mengawasi gerak-geriknya menulis kalimat per kalimat Mandarin. Julia terlihat senyum tipis tanpa menatap ke arahku. Dia hanya feeling saja bahwa aku memperhatikan wajahnya yang manis itu.

‘’Tempat jalan-jalan di sini tentu saja shopping centre, di Beijing ada beberapa shopping centre yang ramai, di pusat kota ada Wangfujing Street dan Xidan Street. Tapi aku jarang ke sana karena mahal-mahal bo’. Namanya juga mall jadi gak bisa nawar. So aku lebih sering ke Qianmen dan Silk Street. Di dua tempat ini harganya bisa sangat murah asal kita cerewet dan jago nawar. Anggap saja di pasar Tanah Abang Jakarta, atau di pasar 16 Ilir Palembang,’’ kata Julia seraya menggamit lengan kananku.

Perlakuan Julia ini selalu bikin aku bingung. Bingung sekali. Baru kemarin kenal, rasanya seperti sudah kenal setahun. Penuh percaya diri dan tidak ada batasan yang berarti. Aku benar-benar dibikin mabok kepayang. Apakah Julia benar-benar tidak tahu kalau aku ini laki-laki yang sudah beristri?

‘’Kita cuek seperti orang yang sudah terbiasa masuk mall ini,’’ kata Julia setelah kami memasuki salah satu mall di kota Beijing.

‘’Maksudmu?’’

‘’Supaya tidak terlalu dikejar-kejar penjual,’’ sahutnya.

‘’Aku ingin membeli jaket anak-anak,’’ kataku.

Julia menatap keningku sejenak. Lalu tersenyum.

‘’Warna cerah lebih baik untuk anak-anak,’’ saran Julia.

Kali ini giliran aku yang terbengong. Secara tidak langsung aku telah mengaku identitasku sebagai seorang bapak. Tapi Julia kelihatan santai. Cuek.

‘’You give me first how much you want to pay. Ok ok..900…’’ kata cewek Beijing menawarkan barang belanjaannya.

‘’ Oh, too expensive…’’ kata Julia

‘’So, how much do you want to pay?’’ kejar cewek tersebut.

‘’Give me a good price,’’

‘’How much?’’ cewek China Beijing itu memagang lenganku. Aku minta pada Julia gak usah ditawar lagi, soalnya harganya sudah diturunkan 50 persen. Akhirnya aku beli baju anak-anak motif China berwarna cerah pilihan Julia.

‘’Biarlah aku yang bayar.’’ kata Julia kemudian

‘’Yang benar aja Julia.’’

‘’Iya ini benar.’’

‘’Maksudku, sudahlah aku yang bayar.’’

‘’Sama aja kan, pada akhirnya kita beli barang ini. Itung-itung ini hadiah dariku untuk anakmu,’’ sergah Julia.

‘’Emmm, terima kasih dah kalau begitu,’’ jawabku.

Kita lalu meninggalkan Wangfujing Street, lalu kembali ke café Ya Shao. Di sepanjang jalan aku kembali berpikir. Apa maunya cewek ini? Makin lama makin bertingkah aneh. Sampai-sampai mau berkorban membelikan baju anakku? Pikir batinku.

‘’Gak usah dipikirkan,’’ kata Julia setengah tersenyum. Seperti menggoda rasa penasaranku.

‘’Sok tahu lu, aku memikirkanmu,’’ aku tak kalah konyol.

‘’Naluri perempuan biasanya tak pernah meleset,’’ katanya.

‘’Sebenarnya ada apa. Kok kita ini tiba-tiba begitu akrab?’’

‘’Itu hanya perasaanmu saja Mas. Manusia itu kan makhluk social dan akan selalu berhubungan dengan orang lain.’’

‘’Kita harus berterus terang, aku sudah punya istri dan anak.’’

‘’Memangnya kenapa? Aku tidak minta Mas mengawini aku. Tidak kan….?’’

‘’Besok aku mau pulang ke Indonesia. Pertemuan ini jangan sampai membuat kita justru menjadi pertemuan yang menyakitkan. Kamu kecewa dan aku juga kecewa karena telah membangun kesan-kesan manis yang menyenangkan seperti ini.’’

Julia lama terdiam. Sesekali menggigit bibirnya seperti menahan rasa sedih.

‘’Dengar Mas, pertama aku berjumpa dengan Mas, hatiku sangat bergetar. Aku sangat terkejut. Aku seperti menemukan kembali memori setahun lalu.’’

‘’Maksudmu?’’

‘’Mas tak jauh beda dengan pacarku, Gilman. Mirip sekali. Dia telah mendahului kita akibat serangan kanker otak. Aku kuliah di sini juga bareng dia,’’ Julia menatap kedua bola mataku. Hampir menangis, tapi ditahannya dengan cara tersenyum dipaksa.

Aku baru sadar. Diam-diam keberadaanku ini menjadi pelipur lara Julia.

‘’Tuhan Maha Agung, Julia. Cinta memang terkadang bukan untuk dimiliki. Kamu termasuk gadis tegar, lanjutkan perjuanganmu menempuh pendidikan di sini. Orangtuamu akan sangat bangga padamu. Dan aku minta maaf bila kehadiranku ini melukai perasaanmu,’’ kataku lirih. Aku hampir mencium keningnya. Tapi aku cepat sadar bahwa apa yang akan aku lakukan itu merupakan kesalahan besar. Julia tak bicara apa-apa lagi, langsung beringsud meninggalkan aku. Tapi aku masih mengantongi catatan kecil alamat email, blog dan Hpnya. Suatu saat aku akan menemui Julia via dunia maya.

(Shanghai, Juli 2008)


Tidak ada komentar: